LOPER KORAN
Setelah sholat Subuh biasanya aku rutin sepedaan (ini berlaku jika bangun tidak kesiangan, tidak hujan, dan tidak malas hehehe). Seperti pagi itu, selesai rutinitas pagi kusiapkan sepeda, menggunakan bicyclepants, kaos tangan, sepatu kets. Pasang Handsfree music Bluetoth, kacamata terpasang dan siap mengitari jalan –jalan di Jogja.
Keluar dari rumah aku susuri jalan Magelang kearah Selatan, sebelum di pertigaan Borobudur Plaza lajuku sedikit pelan, ini dikarenakan adanya Pasar Tiban setiap pagi berisi penjual dan pembeli makanan kecil. Sepeda kembali laju begitu melewati Pasar tersebut.
Traficlight pada pagi hari kurang berfungsi, sering kali aku trobos (mohon jangan ditiru), sampai di perempatan Pingit aku arahkan ke kiri (Maaf aku hanya tau kiri, kanan, Utara dan, Selatan), lurus sampai perempatan Tugu, sampai di perempatan Gramedia belok ke Utara menuju arah UGM.
Di depan RS. Panti Rapih sebuah sepeda melaju kencang mendahuluiku. Lelaki berusia belasan tahun berseragam putih abu-abu membawa setumpuk Koran di sepedanya (di plantangan *bhs jawanya). Dia melaju kencang ke arah UGM, semangatnya luar biasa, atau mungkin dia sedang buru-buru agar tidak terlambat ke sekolah.
Kembali aku memacu si fire (nama sepedaku) dan mulai masuk di gerbang kampus UGM, pepohonan yang rindang membuat udara segar pagi itu. Di seputaran gedung Graha Sabha Pramana orang-orang berolahraga. Ada yang sekedar jalan, ada juga yang sama denganku bersepeda. Kuputari gedung-gedung, sampai di depan Fakultas Fisipol sepeda kuhentikan, dan aku melakukan peregangan otot.
Tak jauh dari tempatku berolahraga ternyata anak SMA tadi ada disana, sedang merapikan korannya. Tiba-tiba dia menyapa, “Pagi mas…”
“Pagi juga”, jawabku. “Rajin ya, pagi-pagi sudah mau ngantar Koran”, sedikit pujiku. Karena melihat dia, aku teringat akan masa SMA-ku yang dulu setiap pagi juga selalu harus mengantar Koran ke berbagai tempat. Ya.. aku dulu pernah menjadi seorang loper Koran, persis seperti anak tersebut.
“Ya mau gak mau mas, soalnya kalo tidak kerja kayak gini saya tidak bisa sekolah”, kali ini dia berbicara sambil menatap kearahku, wajahnya sedikit sendu.
“Kalo masnya enak, jadi orang kaya, pagi-pagi sepedaan buat olahraga, kalo saya ya harus ngantar Koran. Yang lainnya bisa bangun malas-malasan, kalo saya bangun kesiangan dijamin terlambat sekolah mas, belum lagi kalo…” belum selesai dia berbicara aku potong.
“Kalo hujan, pasti malas, libur hanya pada tanggal merah dikarenakan hari besar Nasional, belum lagi ban bocor di pagi buta, dan sebagainya kan…”, potongku sambil tersenyum.
“Kok masnya tau..?”, tanyanya.
“Hehehe.. aku dulu sama kok waktu SMA juga pernah menjadi loper sama denganmu, tapi aku sangat bangga mengakuinya, bahkan sampai sekarang-pun aku bangga lho dengan pekerjaan itu”.
“Kenapa mas..?”, tanyanya.
“Yang jelas aku bisa bayar sekolah dengan jerih payahku sendiri, aku tidak mungkin dapat beasiswa karena aku bukan termasuk anak yang pintar (ngaku!!!). Yang kedua aku jadi rajin Sholat Subuh, bahkan sering kali Adzan di Mushola sebelum berangkat keliling. Dan yang penting aku bisa menjadi kuat menghadapi hidup sekarang karena dari dulu sudah suka bekerja keras”.
Anak itu mengangguk-angguk mendengar bicaraku.
“Tapi mas, kalo aku harus bantuin orang tua juga, sebagian uangku untuk biaya makan sehari-hari. Kadang rasanya capek mas”, wajahnya kembali kecut.
“Nah justru kamu seharusnya tambah bangga donk, ingat saja suatu saat nanti kamu akan merasa bangga dengan yang telah kau jalani sekarang. Toh Halal. Hanya saja kalo kamu menjalaninya tidak dengan ikhlas pasti bawaanya jadi males, coba kau rubah bahwasanya itu bukan suatu pekerjaan namun suatu rutinitas positive, jalani dengan semangat, tersenyum, dan ikhlas, pasti seneng, anggap olahraga”.
Binar wajah anak itu berubah menjadi lebih ceria, sambil tersenyum diapun berkata.
“Iya ya mas, bener juga ya… Aku mau ikhlas ah ke depannya. Biar bisa kaya seperti masnya…!!”
Kaya?? Alhamdulillah aku dianggap kaya, disyukuri saja. Toh kaya itu ukurannya “abstrak”.
“Udah jam 6 mas, aku lanjut lagi ya, masih ada beberapa Koran yang harus diantar, takut kesiangan ke sekolah., makasih mas sudah kasih nasehat, ini ada edisi perkenalan GRATIS!!”, ucapnya seraya memberikan Koran gratis. Tapi berhubung aku sedang bersepeda dan takut malah jatuh Koran-nya akhirnya aku tolak pemberian itu.
Kembali anak itu mengayuh sepeda dengan kencang menyusuru paginya Jogja.
Hati-hati dik, semoga kau menjadi orang besar suatu saat nanti. Amien…
Melihat anak itu, Serasa melihat diriku sendiri beberapa waktu lalu…..
Kulirik Jam menunjukkan pukul 6.15 Pagi, saatnya pulang dan sarapan.. laper euy….
Komentar
Posting Komentar