Merpati itu....
Buah dari wujud cinta kasih yang kami arungi mengahsilkan sepasang merpati manis. Cinta yang kujalin dengan perempuan nyang kini menjadi Ibu dari kedua anak perempuanku tersebut sungguh anugrah terindah dari Tuhan. Pencapaian seorang lelaki dengan segala ego dan aroganku, kini menjadikanku pria dengan segala tanggung jawab yang kupikul. Ringan dan berat mengarungi ibadah panjang kehidupan selalu bisa kuatasi bersama istri yang penuh semangat.
Bukan perkara mudah ketika awal kami berumah tangga dengan keputusan istriku untuk bekerja di Jakarta, dan aku melanjutkan karir di Jogja tercinta. Dengan kepercayaan demi sebuah kalimat sakti yaitu masa depan, hari demi hari kami lalui.
Dari awal perkawinan, tidak pernah sedikitpun untuk menyurutkan langkah istri membangun impiannya. Impian yang sudah dia miliki ketika kami pacaran dulu. Di Ibu kota dia tertatih sampai mantap melangkah mewujudkan mimpi tersebut. Denga tekad kuat perlahan-lahan dia bisa mewujudkan sebuah impiannya, yang akhirnya menjadi impian kami berdua.
Sebagai pegawai di Jogja, aku harus belajar untuk mendidik sepasang merpatiku, peran Ibu dan sekaligus ayah harus bisa aku jalani. Tanpa berusaha meniadakan istriku yang berada di luar kota, sepasang merpatiku bisa mengerti akan kondisi keluarga kami yang mungkin bagi sebagian orang terlihat ganjil, namun tidak bagi kami. Itulah realita hidup yang kami pilih, semua kami syukuri.
Tidak heran apabila sepasang merpati ini pun akhirnya lebih dekat denganku, waktu yang menyebabkan kasih sayang dan perhatianku menjadikanya. Masih ingat dibayangku ketika mereka merengek dan malas untuk berangkat sekolah, sampai akhirnya sekarang tumbuh menjadi gadis yang mandiri.
Membahagiaan dan memberikan yang terbaik buat mereka adalah cita-cita kami.
Sebagai ayah yang ada di rumah, menjadikanku sekaligus teman bagi keduanya. Dari masalah kecil sampai dengan urusan sekolah menu-ku sehari-hari, namun semua itu selalu kurundingkan dengan istri. Jarak bukan halangan kami untuk menjadi jauh. Setiap Jum’at sampai Minggu kami selalu berkumpul, entah aku yang ke Ibu Kota, ataupun istri yang ke Jogja. Tidak masalah.
Menjadi curhatan hati bagi kedua merpatiku yang beranjak dewasa sering menimbulkan pertengkaran. Hal inipun aku anggap wajar, apapun itu mereka sudah mulai beranjak ingin mengetahui dunia. Sudah harus melihat kenyataan tentang kerasnya hidup dengan semua konsekwensinya. Apabila dulu hanya dengan kalimat bernada keras bisa menyurutkan keinginan mereka, sekarang pasti akan timbul pertanyaan tentang kenapa larangan itu di adakan. Jika sudah begini, aku harus bisa member penjelasan yang masuk akal bagi pola pemikiran mereka sekaligus konsekwensi apabila dilanggar. Bukan untuk menakut-nakuti tapi lebih cenderung realistis.
Satu hal yang masih mereka miliki adalah, sopan dan bisa menempatkan diri. Mereka tau kapan ketika harus menjadi gadis yang ingin bebas, dan kapan menjadi seorang anak. Kalo sudah begitu, sangat egois apabila aku tidak bisa mengikuti cara pandang mereka, aku harus bisa menjadi Ayah dan juga sahabat tentunya.
Beranjak dewasa sepasang gadis inipun mulai mengenal arti cinta dari lawan jenis. Sempat terkejut dengan hal tersebut, gadis kecil yang suka berpita warna-warni ini telah mengenal lelaki. Sebagai orang tua, kami selalu mewanti-wanti tentang arti penting tanggungjawab, arti pentingnya sekolah dan sebaginya, dan yang utama tentang arti Tuhan yang selalu mengawasi kehidupan kita.
Ciuman-ciuman kecil mereka masih sering aku terima, hal yang masih dilakukan dari masa kecil yang tidak pernah berubah. Sesekali aku lihat masih ada kepolosan tatkala mereka terpejam dalam dalam tidur. Sungguh bangga dan senang masih bisa menemani hari-hari mereka. Namun satu hal yang sudah mulai berkurang, aku tidak lagi menjadi tempat curahan isi hati mereka. Dengan teman dan pacar yang telah mereka miliki rutinitas itu seakan terhenti, dan hal ini terkadang menyiksaku. Aku yang biasanya ada untuk mereka, kini harus dikalahkan oleh lelaki lain.
Perasan itu wajar adanya, pernah aku bertanya kepada kawan yang telah memiliki anak yang beranjak gadis, dan ternyata dia memiliki kekhawatiran dan kecemburuan yang sama. Kekhawatiran seorang ayah terhadap dunia yang akan mereka hadapi, dan kecemburuan sebagai orang yang dinomor duakan, namun satu hal yang aku yakini, aku tidak boleh egois. Peranku sebagai ayah harus pada porsinya.
Dimataku kini sepasang merpatiku telah berubah menjadi bidadari, aku berharap Tuhan selalu memberikan kemudahan kepada kalian, terbanglah meraih cita-cita dan harapanmu nak, jadilah bidadari yang penuh cinta dan bijaksana, ingatlah bahwa setiap kau melangkah dan merasa lelah, ada ayah yang selalu siap membimbingmu untuk kembali bisa melangkah dan terbang, sampai saatnya ayah harus melepas kalian.
Komentar
Posting Komentar