Itulah Ayah...

Mendapat berita sedih sungguh seringkali membuat nyeri di dada.
Seminggu lalu seorang kawan bercerita tentang Ibu-nya yang dirawat di RS Daerah karena sakit yang di deritanya.
Tak lama berita itu menjadi lebih sedih lagi saat sang Ibunda akhirnya harus berpulang ke Rahmatullah...

Cerita berlanjut...

Tentang kesedihan seorang anak manusia yang ditinggalkan Ibunya. Sungguh aku sangat bisa merasakan kepiluan tersebut, karena aku juga belum lama baru bisa terima kenyataan bahwa Ibu meninggal.
Semua berubah...
Semua tidak sama...

Sama halnya kisahku, sahabat satu inipun masih beruntung memiliki seorang Ayah. Hanya bedanya, Bapakku saat itu dalam kondisi sakit, sedangkan Ayahnya sehat wal afiat..
Takdir memang membawa kisah yang berbeda...

Kesedihan yang dialaminya begitu mendalam, tentang betapa kehilangan moment-moment keseharian, dimana sang Bunda rajin menanyakan kondisi, jadwal bekerja, bahkan kesehatan. Semua itu kini hilang.

Aku maklum, sangat maklum...
Sampailah cerita tentang pesan almarhumah untuk menjaga Bapak dan Adiknya, semua itu adalah wasiat yang harus dia jalankan.

Adiknya kelar SMA, anak perempuan yang menurut sobatku ini memiliki kemampuan yang diturunkan dari Ibunya yaitu pintar dalam berdagang. Almarhum Ibu sobatku tersebut memiliki kios di pasar, seringnya sang adik membantu pekerjaan tersebut hingga ilmu berjualan di pasar tradisional tersebut didapat secara otodidak.

Bagaimana dengan Ayahnya?
Sosok keras yang tidak bisa bertutur lembut, selalu bersuara tinggi saat mendidik anak-anaknya. Terkadang sedih rasanya jika Ayah berbicara, semua terdengar bagai perintah. Sosok yang tidak dapat dibantahkan, demikian ceritanya..

Bayangan akan almarhum Bapakku tiba-tiba hadir. Sosok yang kurang lebih sama dengan yang sobatku ceritakan ini.

Namun benarkah demikian?

Bapak sangat keras cara mendidikku, sejak kecil bahkan aku terbiasa perang mulut. Sering kali aku merasa semua hal yang kulakukan, salah dimata Bapak. Jarang sekali Bapak memberi pujian, yang ada kritikan dan celaan yang tak pernah habis.

Tanpa ku ketahui apa yang Bapak lakukan di luar rumah ternyata berbeda dengan yang di dalam rumah.
Suatu ketika seorang kawan bercerita, bahwa Bapakku itu kalo memujiku sundul langit, seolah-olah hanya aku orang paling hebat di dunia.
Sungguh aku tidak percaya dengan ucapannya, tapi ternyata banyak orang mengatakan hal yang sama..
Bapak....

Baru tersadar, cara berbicara Bapakku memang jarang halus, bersuara tinggi, bahkan terkesan ngajak berantem.
Tapi dibalik itu semua baru kusadari, mungkin memang itulah wujud perhatian, kasih dan sayang yang bapak berikan. Ucapan dan nada tinggi adalah wujud betapa peduli dan khawatirnya Beliau terhadap aku. Bapak mengajariku untuk menjadi lelaki tegar, bukan cengeng. Bapak mungkin terkesan keras, namun kebaikan yang Beliau tanamkan sungguh bekal yang luar biasa kurasakan..
Ah Bapak...

Betapa menyesal jika mengingat semua hal yang seringkali kubantahkan jika tidak sepaham dan sepemikiran..

Sobat, aku tau kau masih berkabung, harapanku jangan berlarut dalam sedih. Almarhum Ibu lebih nyaman dapat kiriman do'a dibandingkan tangisan, segeralah bangkit. Bukan perkara mudah memang saat harus berusaha berdamai dengan keadaan, namun yang jelas Orang Tua dimanapun tak ada yang berharap hal buruk terhadap anaknya.
Mungkin seorang Ayah tidak bertutur sehalus Ibu, namun yakinkah banyak kearifan di dalamnya...
Seorang Ayah mengajarkan kita tuk menjadi tangguh, kuat, dan pemimpin yang handal.
Dalam hidup dan kehidupan...

Jadi inget almarhum Babe dan gigi ompongnya...
Lobe you Be...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Jawa Yu Beruk..

Basa Jawa Ndeso?