Dunia Yang Beda


Terlahir dari keluarga pas-pasan bukan suatu pilihan, itu adalah takdir dan scenario dari-Nya. Aku tidak pernah menyesal untuk menjalaninya, ditambah Mamak dan Bapak yang menyayangi. Penyesalan itu semakin tidak ada dalam pikiranku dengan seorang kakak seperti Pipin yang kumiliki. Walaupun seorang perempuan, Pipin selalu menjadi pelindungku, selalu menjagaku disaat Mamak dan Bapak tidak ada.
Sedari kecil aku memang merasakan perbedaan dengan teman seumuranku, walaupun secara fisik tidak begitu Nampak, namun banyak tetangga dan orang-orang yang memandangku aneh. Seperti melihat mahluk asing. Julukan idiot dan bodoh sering kali singgah padaku, sebenarnya bukannya aku tidak mengerti akan apa yang mereka sampaikan, aku juga punya perasaan seperti mereka. Seringkali aku sakit hati apabila ada perkataan dan cemoohan tetangga yang melihatku. Jangankan untuk berteman, sekedar melihatku, mereka sepertinya jijik. Beruntung keluarga selalu menyayangiku.

Disaat teman-teman bersekolah, aku satu-satunya di kampong yang  tidak menikmati sekolah. Bahkan aku sendiri tidak tahu sekolah itu sebenarnya apa. Yang aku tau setiap pagi Pipin pergi dengan menggunakan baju putih dan rok merah, begitu selalu yang dia kerjakan selama 6 Tahun. Pada tahun-tahun tertentu Mamak dan Bapak akan bercerita dengan bangga tentang rangking yang berhasil Pipin raih. Aku sendiri tidak paham apa artinya rangking. Yang aku tau rangking adalah kata yang membuat Bapak dan Mamak senang. Pipin punya rangking.

Sebenarnya sedih dengan ketidak tauan mereka akan apa yang aku sampaikan, terkadang disaat aku hanya ingin mengatakan keinginanku untuk makan saja, bukan perkara mudah bagi kedua orangtuaku memahami maksudku, yang sering kudengar Mamak dan Bapak akan menanyakan “ak uk ak uk yang keluar dari mulutku”. Padahal seandainya saja mereka bisa memahami bahwasanya untuk sekedar mengeluarkan bunyi “ak uk ak uk” seperti yang mereka katakana saja, aku sudah sangat kesusahan. Seolah lidahku ini berlipat-lipat, hanya Pipin yang bisa memahami dari arti bunyi yang kukeluarkan. Menyadari itu aku akhirnya lebih baik diam, karena tidak tahan melihat orangtua dan Pipin seringkali sedih dan putus asa ketika aku berusaha menyampaikan sesuatu.

Dari jendela bilik bambu rumah, sering kulihat teman-teman yang dulu ketika masih kecil masih menggunakan popok bersama, sekarang mulai menggunakan baju putih dan bawahan merah seperti yang Pipin sering gunakan. Mereka berangkat dan pulang dengan waktu yang sama. Apa yang mereka lakukan sebenarnya? Sebenarnya aku iri.

Beberapa kali Pipin mengenalkanku dengan kertas-kertas yang memiliki gambar-gambar bagus, dan ada barisan symbol yang berderet rapi. Kata Pipin itu adalah tulisan. Dia berusaha mengajariku untuk menulis dan membaca, tapi selalu saja aku tidak bisa mengingat huruf-huruf tersebut. Kalo sudah begini, biasanya Pipin marah, sedih rasanya telah mengecewakan Pipin. Marah dan sedih terlihat dari wajah Pipin., tapi dia tetap menemaniku dan mengatakan tentang gambar-gambar yang ada di kertas tersebut. Aku senang mendengarkan semua yang Pipin katakan.
“In…  kan…”, kataku disela-sela cerita Pipin. Sebentar Pipin berpikir maksud dari perkataanku. Aku hanya ingin makan, itu yang ada dalam benakku.
“Kamu ngomong apa? Ikan..???, mau minta ikan??”, tanya Pipin dengan sabar berusaha memahami arti bicaraku.
Kuraih tangan Pipin dan kutunjukan arah dapur kecil kami, baru dia mengerti bahwa aku ingin makan. Lega akhirnya dia bisa mengetahui akan hal yang kuinginkan. Dengan sabar Pipin mengambilkanku nasi dan lauk dari dapur. Dengan lahap kami berdua makan. Seperti biasanya setelah makan di suasana terikitu, Pipin pergi bermain dengan anak-anak tetangga, sedangkan aku tidur. Walaupun dia perempuan, dia selalu bisa menjadi pemimpin.
Waktu terus berjalan, Pipin beranjak dewasa, aku sendiri lupa sejak kapan aku akhirnya aku mendapat “teman”baru. Teman yang selalu ada dan menemaniku, bahkan dia sering menina bobokkanku menjelang tidur. Sosok nenek-nenek berambut panjang dan putih itu selalu ada untukku. Aku mamanggilnya Simbah. Kami sering becerita, namun justru julukan gila kini malah harus aku sandang.
Andai mereka mengerti bahwa kata-kata itu sangat kejam dan membuatku sering menangis. Beruntunglah Simbah selalu ada disampingku. Dia yang selalu menenangkanku ketika aku marah. Mamak dan Bapak kerap marah apabila melihatku berbicara dengan Simbah, mereka anggap aku gila karena berbicara sendiri, padahal aku sedang bicara dengan Simbah, karena keterbatasanku  seringkali cubitan mendarat di badanku, padahal sesungguhnya aku hanya ingin menceritakan apa yang sedang kami lakukan. Bila sudah begini aku hanya bisa menangis, tapi selalu ada dia di sampingku, sehingga aku sedikit merasa tenang.
Umurku berjalan, semua mulai berubah, sama seperti teman-temanku di kampung, aku juga di-khitankan oleh Bapak, namun yang berbeda tidak ada perayaan apa-apa seperti yang teman-temanku lakukan. Aku tidak merasa sedih, karena memang dalam pandangan mereka aku berbeda. Sebagai orang yang selalu menghiburku tetap sama, sosok Simbah.

Pada suatu hari rumah kami ramai dikunjungi orang, kata Bapak dan Simak, Pipin mau menikah. AKu tidak menegrti maksud dari mereka, yang jelas Bapak dan Mamak hanya berpesan agar aku tidak nakal. Pada hari itu Pipin dan seorang lelaki duduk di panggung yang dihiasi dengan banyak bunga. Banyak kerumunan tetangga dan orang-orang yang tidak aku kenal berdatangan, bahkan teman-temanku dimasa kecil juga berdatangan, mereka membantu acara yang kami selenggarakan. Sesekali teman lamaku ini menjabat tangan dan mengajakku berbicara, namun seperti biasanya mereka tidak paham akan apa yang kukatakan. Ada yang tertawa bahkan mencibir dengan omonganku. Beruntunglah Mamak menyurumasuk kamar, mungkin dia tidak tega melihatku. Di bilik kecil tersebut aku merasa nyaman, sesekali kulihat kerumunan yang lalu lalang di sekitar rumah kami. Sayangnya Simbah tidak ada.
Hal yang tidak habis pikir adalah kenapa jika aku merasa tidak ada perubahan dengan badanku, sedangkan Simbah terlihat semakin muda. Di mataku saat ini Simbah jauh lebih cantik dan lebih muda dari pertama kali yang kukenal dulu. Semakin lama semakin cantik. Aku tidak pernah mempersoalkan akan hal tersebut, yang penting simbah selalu ada buatku. Itu yang aku tau.

Pagi sampai sore, rumah kami sekarang sepi. Kata Mamak hanya aku yang dirumah, tapi aku merasa ada Simbah di rumah tersebut. Dan ketika aku berusaha mengatakannya Mamak dan Bapak menjawab, “Sudah, gak usah ak uk ak uk, tinggal di rumah dan jangan nakal”, kalo sudah begini aku berusaha mematuhi perkataan mereka, toh aku dirumah tidak sendiri.
Sosok Simbah ini lama-lama berubah seperti seumuran Pipin, bahkan lebih cantik.
Siang seperti biasanya aku dinina bobokkan oleh Simbah, namun siang itu simbah memaksaku untuk menanggalkan pakaianaku. Tentu saja aku tidak mau, dan baru pertama kali inilah aku melihat Simbah marah, ketika marah Simbah berubah menjadi wajah yang menakutkan dan bermata merah. Sungguh aku sangat ketakutan melihatnya. Tanpa daya akhirnya aku menuruti yang Simbah pinta. Hal itu terjadi berulang-ulang. Sampai akhirnya, Mamak yang kesehariannya jaga warung pulang lebih cepat dari pasar, disaat itu aku tidak mendengar panggilan Mamak, dikarenakan aku harus menuruti ajakan simbah.
Tanpa kuduga mamak masuk ke dalam bilik kamarku dan melihatku tanpa busana, seketika Mamak marah, diseret, dan dimasukkanya aku ke kamar mandi. Tanpa ampun Mamak mengguyurkan air ke tubuhku. Aku tidak marah kepada Mamak, tapi aku marah kepada Simbah yang telah membuat Mamak sedih dan marah karena ajaknya kepadaku. Aku berusaha berbicara ke Mamak, tapi Mamak berkata aku harus diam dan tak perlu ak uk ak uk lagi. Aku menangis, aku sangat sedih. Anehnya saat itu justru Simbah tidak ada di bilik kamarku, aku nerharap dia mau menjelaskan kepada Mamak. Sore hari ketika Bapak pulang kerja, Mamak menceritakan semua hal yang aku lakukan. Bapak berpikir itu wajar saja karena umurku yang sudah 23 Tahun, tentunya punya hasrat.

Untuk beberapa lama Simbah menghilang dari kamarku, tentu aku merasa kesepian, apalagi tanpa ada Mamak dan Bapak, tapi bagiku mungkin itu lebih baik dibandingkan harus mengerjakan yang ajakan Simbah yang aku tidak pahami. Hari-hari aku lewati dengan hanya duduk disamping jendela.
Untuk waktu yang cukup lama Simbah tidak berada di rumah kami, Bapak dan Mamak senang melihatku tidak pernah berbicara lagi di rumah. Pikir mereka aku sudah waras, andai mereka tau bahwa aku sedang berbicara dengan simbah, pastilah pikiran itu tidak akan ada pada mereka. Aku memang beda tetapi aku waras Mak….

Suatu hari Pipin mengunjungi kami bersama lelaki yang dulu duduk dipanggung denganya, katanya lelaki yang disebutnya suami itu ada urusan pekerjaan, aku cukup senang akan kehadiran Pipin. Dia mengajakku berbicara dan bercerita seperti biasanya. Dia satu-satunya orang yang selalu bisa mengajakku bicara seperti biasanya. Seolah-olah di memahami apa yang aku ucapkan. Dia dan suami bermalam di rumah kami. Untuk sementara aku tidak kesepian lagi ketika ditinggal Bapak dan Mamak ke pasar. Kedatangan Pipin disambut oleh para tetangga, ajakan demi ajak untuk singgah Pipin turuti.

Tanpa kusadari, ternyata Simbah kembali hadir di rumah kami. Pada mulanya aku takut dengan kehadiranya lagi, namun mengingat dia adalah satu-satunya teman yang selalu aku ajak bicara, kecanggungan itupun akhirnya sirna. Hingga suatu sore Simbah kembali mengajakku melakukan hal yang dulu sering dia suruh, kali ini aku menolaknya, seperti yang aku duga Simbah kembali marah, rambut putihnya berurai dan matanya memerah, wajah cantiknya berubah menjadi sosok simbah seperti pertama kali bertemu. Namun, aku tidak takut takut lagi dengan perubahan yang Simbah alami, aku berusaha sekuat tenaga melawan dari hal-hal yang dia suruh, kami akhirnya berkelahi. Beberapa kali tubuhku terpental dan megenai lemari. Tenaga Simbah luar biasa, aku tetap mencoba melawan. Entah berapa banyak wajahku terlempar ke lantai, dan lama-lama tenagaku berkurang. Di saat itulah aku menjerit sekencangnya, dan kupanggil nama Pipin……
“Innnnnnn….. Innn…..”, Pipin yang masih tinggal dirumah dan sedang bersendau gurau dengan tetangga akhirnya menghambur kearahku, dia sangat kaget dengan isi rumah yang berantakan, ditambah dengan wajah memarku yang mengeluarkan darah. Dia berusaha menanyakan keadaan rumah padaku, aku tidak bisa menjawab banyak, hanya kutunjukkan arah dimana Simbah berada, dan kucoba katakana bahwa ini semua ulahnya. Pipin tidak mengerti dengan perkataanku. Simbah tertawa-tawa disana, seolah mengejekku. Dia bahkan mengeluarkan kata-kata yang sering diucapkan tetangga, dia bilang aku gila, aku bodoh dan sebagainya. Tidak terima mendapatkan hinaan itu aku maju dan kembali mencoba memukuli Simbah., beruntung Bapak dan Simak melerai, namun kali ini justru pukulan dan tamparan aku terima, aku diseret ke kamar mandi, berkali kali, kudengar suara Pipin menangis, dia menangis karena merasa mendapatkan pukulan dariku…

Aku masih tidak mengerti kenapa dia merasa kupukul, padahal aku tadi memukul Simbah… Aku minta ampun dari cubitan dan guyuran air Mamak, ingin kukatakan bahwa aku tidak memukul Pipin mak.. aku mukulin Simbah.. Ampuni aku Mak, Maafkan aku Pin… Aku tidak bermaksud melukaimu…. Aku minta maaf....



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Jawa Yu Beruk..