PENARI

Sedari kecil aku terbiasa dengan dunia seni, maklumlah mendiang ibu adalah seorang seniwati, beliau dulu ikut Kelompok Kethoprak “SAPTA MANDALA”. Masih ingat aku yang masih kecil dibawa Ibu berangkat dari panggung ke panggung. Ibu selain pandai menari juga pinter nembang dan nyinden. Kami anak-anaknya sayangnya tidak satupun yang secara “serius” menekuni jejak Ibu almarhum.

Umur 6 tahun, aku diadopsi oleh suatu keluarga yang tidak memiliki anak, waktu itu aku tidak punya pilihan lain kecuali manut dipisahkan dari kakak-kakakku. Hal ini terjadi pasca meninggalnya Ibu-ku. Bapak telah lama mendahului Ibu ketika aku bisa merangkak (itu informasi yang kudapatkan dari adik bapak dan ibu yang mengasuh kami).

Faktor ekonomi adalah alasan utama kenapa aku harus diadopsi keluarga lain, Pamanku hanya sebagai karyawan golongan rendah di suatu Perguruan Tinggi Negri, pengahsilannya pas-pasan untuk dapat menunjang hidup mereka sendiri yang memiliki 2 orang anak, ditambah kami ber 4. Sehingga bisa dibayangkan betapa sangat pas-pasan untuk hidup. Beruntung Paman adalah sosok pekerja keras yang bisa bekerja serabutan demi kami semua.

Keputusan untuk memberikan aku kepada sebuah keluarga lain adalah bukan perkara mudah bagi mereka, banyak kecaman yang ditujukan kepada keluarga pamanku ini, namun sayangnya sering kali kecaman tidak dibarengi dengan solusi yang ditawarkan, walhasil tetap tidak ada jalan lain kecuali ya itu tadi salah satu anaknya rela diambil suatu keluarga dan itu aku. Sebelum anda menganbil sapu tangan dan menangis membaca tulisan ini, saya tidak akan melanjutkan cerita kejamnya dunia. Karena bagiku itu kenangan indah. Jadi jangan buang percuma air mata anda hehehehe…

Kembali ke cerita utama, memasuki rumah asing dan keluarga baru tersebut membuatku harus merubah semua hal yang sebelumnya “nyaman” di keluarga pamanku. Di keluarga ini semua begitu tertata, maklum Ibu yang mengasuhku adalah seoarang guru, dan Bapak waktu itu bekerja di Perusahaan swasta.
Awal mulanya agak kesulitan untuk beradaptasi, maklum waktu itu masih imut (..iyaks, pasti gak percaya..…). Sebenarnya cukup nyaman tinggal di keluarga ini, namun ada hal yang kurang aku suka.  Hal yang paling tidak kusuka adalah ketika diwajibkan belajar. Hal tersebut diwajibkan oleh kedua orang tua baruku ini. Maklum, semenjak ikut mereka aku dipindahkan ke Sekolah yang cukup bagus di Yogya kala itu.  Duduk di kelas 2 sebagai siswa baru dan berubah dari SD INPRES ke SD Favorit bukan perkara mudah tentunya. Untung Ibu sabar mengajariku, maklum lagi-lagi karena beliau seorang pengajar, jadi mungkin sudah biasa mendapatkan “pasien” sepertiku.

Berjalannya waktu ternyata tidak serta merta membuatku menjadi seorang cendekia seperti yang ibu harapkan, dulu sering kali aku dibandingkan dengan semua keponakan Ibu baruku ini (dan sialnya semua keponakanya pinter-pinter, dan parahnya lagi ada salah satu ponakannya yang saking pinternya dapat nilai angka 7 nangis, lah aku dapat 6 saja jejingkrakan happy, hahahahaha).

Salah satu acara luar sekolah yang aku sukai adalah ekstrakurikuler menari, bagaimanapun Orangtuaku alamarhum telah mengalirkan darah seni kepadaku, untuk urusan yang satu ini aku bisa diacungi jempol Juara!!! Mendengarkan gamelan, diajar gerak tari, sebuah koreografi bukan perkara sulit bagiku. Aku akan dapat dengan cepat menggabungkan idra pendengar dan lainnya dalam menari. Guru Tariku mengatakan aku luwes ketika menari. Ya iyalah anaknya seniwati geto loh….
Beruntung Ibu-ku mengetahui dengan bakat yang kumiliki tersebut, beliau mendukung akan hobbyku di dunia tari, bahkan beliau sangat senang ketika aku tampil pada suatu acara-acara tertentu. Hal itu berlangsung sampai dengan dewasa.

 Keinginan untuk menjadi penari semakin besar ketika aku lulus dari SMP, bisa ditebak pastinya dulu aku sekolah di SMP yang standar, dan swasta (itu karena nilaiku pas-pasan hahaha). Pasca lulus SMP aku beranikan diri untuk berbicara pada Orang tuaku untuk bersekolah di Sekolah Seni, tapi ternyata dukungan positive ibuku semasa kecil tidak sama dengan dukungan Ibu ketika untuk urusan sekolah. Walhasil aku ditentangnya, alasan utama adalah menjadi seniman tidak bisa dijadikan pegangan hidup. Sedih juga saat itu karena tidak disetujui untuk melanjutkan sekolah di bisang seni. Walhasil aku hanya ikut alur dari sekolah yang Ibu tawarkan, karena waktu itu aku sudah males untuk mikir cari sekolah dan Ibu yang mencarikanya, akhirnya aku masuk di SMEA (sekarang SMK).

Minat dan bakatku tidak bisa dibendung, mungkin aku tidak bisa sekolah di bidang seni, namun rupanya Tuhan memberikan jalan lain bagiku. Duduk dibangku kelas 2 aku menemukan selebaran tentang recruitmen anggota baru kelompok tari yang cukup besar di Yogyakarta. Aku langsung semangat 45 untuk menyalurkan bakatku ini, semua persyaratan aku coba penuhi, dari syarat pendaftaran hingga seleksi anggota kusiapkan. Ada seorang kakak kelas yang mengatakan masuk di kelompok tari tersebut tidak mudah, bahkan dia bercerita tentang banyak hal yang sedikit banyak sempat mengendorkan semangatku. Sempat ingin mundur pastinya, namun tekad yang kuat kembali lagi muncul setelah aku ceritakan ke Ibu tentang keinginanku.
Entah karena itu bukan lembaga sekolah, entah sebab lain, Ibu ternyata mendukungku, toh menyalurkan hobby yang positive, lah kalo gitu kenapa dulu aku tidak diijinkan di sekolah seni ya? Lain cerita menurut pendapat beliau… Baeklah….

Ternyata tidak seperti bayanganku sebelumnya, peserta yang mendaftar jumlahnya ratusan. Sempat minder juga ketika kali pertama masuk di arena seleksi tersebut, gambaran kakak kelasku kembali memasuki otakku, namun kupikir sudah kepalang basah. Sudah bayar dan sudah ada disini, tetap majuuuu!!!! Pelaksanaan seleksi ternyata dari Pagi jam 10.00WIb sampai sore jam 17-an, cukup melelahkan, tapi pastinya aku sangat menikmati setiap prosesnya. Baru kali inilah aku bertemu dengan banyak orang yang memiliki keinginan yang hobby yang sama. Menyenangkan….

Satu Minggu setelah seleksi akhirnya diumumkan 30 Orang yang lolos dan bergabung dengan kelompok tari tersebut, dan Alhamdulillah aku terpilih. Yippiii!!! Kakak kelasku yang telah memberiku masukan negative adalah orang pertama yang kudatangi dan kuceritakan tentang kesuksesanku masuk bergabung, dan bisa dibayangkan dia sangat tidak suka. Hehehehe deritamu… (karena ternyata dia pernah mendaftar dan tidak lolos). Dari kelompok tari inilah aku banyak belajar akan segala hal, tidak hanya dunia tari, tentang hidup, tentang bersosialisasi, tentang semangat hidup, arti disiplin, setia kawan, dan lain banyak hal. Banyak orang yang berpandangan negative akan dunia tari, dan aku tidak akan membantahnya, ini dikarenakan kostum glamour yang dibuat sering kali mencitrakan hal-hal yang tidak lazim di masyarakat, namun hal yang pasti itu hanya kostum panggung sebenrnya dan luapan ekspresi seorang seniman.

Sampai saat berita ini dituliskan aku masih sesekali gabung dengan teman-teman yang masih eksis di dunia tari, sayangnya postur tubuhku yang sudah tidak “indah” membuatku jarang bisa memeriahkan panggung hiburan Jogja. Dari teman-teman seperjuanganku ini, ternyata tidak sedikit pula yang bisa “hidup” dan mengandalkan dari dunia tari, tapi ada juga yang penghasilannya pas-pasan juga dari dunia seni. Jadi kesimpulan dari Ibu-ku tidak seluruhnya benar dan salah, namun satu hal yang aku tangkap dari mereka, bahwa menari itu menyenangkan. Menghibur itu ibadah, yang terkadang nikmatnya tidak bisa dibandingkan hanya dengan rupiah. Pekerjaan apapun bila dijalani dengan seni dan cinta pasti hasilnya baik, bekerja di balik meja seperti sekarang ini bukan idamanku sebelumnya, tapi seni tidak pernah ada matinya, dimanapun sampai kapanpun.

Bagi rekan-rekan penari, tulisan ini aku persembahkan untuk kalin…..
Yukk manggggg……. Blak gedubrak dubrak….. 
Pose dan tetap Senyum!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Jawa Yu Beruk..

Basa Jawa Ndeso?