TANAH PETAKA II

Ada suatu kisah kembali tentang Hak Atas Tanah :

Ayah berasal dari 4 bersaudara, ayah bungsu dalam susunan keluarganya. Semenjak kecil ayah ikut dan diasuh oleh Pakdhe dan Budhenya. Pakdhe dan Budhe waktu itu tidak memiliki anak, hingga Ayah dijadikan sebagai pancingan (kata orang Jawa). 
Dan benar saja, setelah Ayah ikut mereka Pakdhe dan Budhe memperoleh keturunan, seorang anak lelaki (yang biasa dipanggil Pak-Lik), Ayah menikah dengan ibu, kemudian lahirlah Mbak dan Adik. Pak-Lik sendiri sampai akhir hayatnya belum sempat menikah. 
Dikarenakan hanya ada Ayah dan Pak-Lik (dahuluan meninggal), maka kemudian sebelum Pakdhe dan Budhe meninggal hak atas tanah jatuh kepada Ayah.

Kini setelah Ayah meninggal, tanah warisan yang tidak seberapa itu menjadi "memanas". 
Ibu, Mbak, dan Adik yang selama ini tinggal dirumah yang berada pada tanah milik Ayah harus berurusan dengan Kakak-Kakakkandung ayah. Hal ini dikarenakan mereka menuntut agar diberi waris secara adil.
Mbak seringkali tertegun dan heran dengan ini semua. Beberapa waktu lalu bahkan ketika Ayah sakit tak satupun dari kel.besar Ayah yang sudi menjengguk. Padahal secara materi mereka bergelimpangan harta, ditambah putra-putra mereka sudah besar dan sudah mandiri, kini kenapa hanya secuil tanah peninggalan Ayah dipermasalahkan. 

Masalah menjadi tambah runyam ketika perangkat Desa doyan duit, atas prakarsa dia-lah masalah ini menjadi semakin pelik dan memanas. Perangkat Desa yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakatnya malah mencoba mencari untung dari masalah ini.

Dalam kegalauan Mbak, dia bertanya kepada orang-orang yang paham akan hukum. Dari pakar-pakar hukum tersebut mendapat jawaban yang cukup melegakan. 

Namun, sebagai seorang anak yang tidak mengerti dengan detail tentang sejarah kepemilikan tanah, hal tersebut pastilah membuatnya gusar, gundah, dan bingung. Dan perasaan kecewa acap kali menggelayut di kepalanya, kenapa justru saudara-saudara kandung dari Ayah yang malah berusaha mengusik kedamaian yang telah mereka jalani bersama Ibu dan Adik.

Posisi Mbak sebagai anak tertua menjadikanya beban ini tidak ringan, ditambah Adik yang belum cukup matang dalam berpikir membuat tanggung jawab sepenuhnya Mbak yang pegang. Ibu walopun belum terlalu renta sering kali sakit-sakitan, sering  kesehatan beliau terganggu apabila mendengar dan mengetahui permasalahan yang cukup berat.

Hal tersebut menjadikan Mbak harus berpikir keras, sedih ketika harus menerima kenyataan bahwa saudara-saudara yang berusaha memusuhinya, sedih mengingat harus menyelesaikan permasalahan sendiri. Namun dihati Mbak dia yakin bahwa Gusti Mboten Sare... 
Pasti akan membantunya. 
Amien...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Jawa Yu Beruk..

Basa Jawa Ndeso?